Senin, 24 Maret 2014

CALEG DALAM SEMANGKOK COTO











Aku baru saja menyerahkan selembar uang 50 ribu ke Daeng Naba' atas semangkok cotonya, ketika tiga anak muda Masuk. Sepertinya mereka karyawan kantor depan warung yg baru Saja saya tempati makan. Mereka ambil tempat duduk sejajar pintu masuk warung agak menyudut.
"Ada uang pas?", tanya Daeng Naba sambil mengutak-atik laci uangnya.
" wah, tidak ada", balasku.
"Saya tukar dulu" katanya lalu keluar tanpa minta persetujuanku.pasrah.
"Itumi saya bilang, jangan salah pilih lagi". Salah seorang memulai pembicaraan. Mungkin tepatnya melanjutkan apa yg mereka bicarakan sebelum masuk.
"Ada uang ada suara!", balas temanya.
"Sekarang bukan lagi jaman money politik, bro", jawabnya sambil menuang air minum di gelas depannya. Ia meneguk sedikit dan "calon yg begituan tak usah lagi dipilih. Itu membodohi masyarakat,mencederai demokrasi. Orang yg mengandalkan uang bisa dipastikan kalau terpilih yg pertama dipikir ongkos politiknya. Berapa dikeluarkan maka ia mencari pos anggaran untuk dipreteli. Kalau cuma menharap gajinya, 5 priode bertugaspun belum cukup", cerocosnya berteori. Nyonya warung yg lagi mencuci mangkok bekas pakai hanya manyung seakan jenuh pembicaraan dengan tema demikian.
"Malah sebaliknya, sekarang orang-orang sudah pintar. Tidak mau dibodohi lagi beda janji saat kampanye dan setelah terpilih. Kalau sdh dibayar terserahmi mau tepati atau ingkar janji.impas khan?", balas temanya tak mau kalah dan melanjutkan " saya curiga calon yg menentang money politik, jangan-jangan Tidak cukup modal alis modal percaya diri berlebihan saja. Palingan modal stiker". 
"Siapa sich calonmu", lanjutnya sekilas melihat teman dialognya lalu mengerling pada temannya yg dari tadi diam sabar menunggu hidangan. Temanya yg dikerlingpun membalas kerlingannya dan melirik temannya yg terjebak teorinya sendiri.Lalu meledaklah suara mereka bertiga seakan Kini sepaham.dengan tersipu malu "sepupuku sendiri. Aku mencari calon pemilih sebanyak-banyaknya. Tapi ininya kurang", sambil menggesek-gesekkan ibu jari dgn telunjuknya.
"Boleh sih, tapi...", kata temanya sengaja tidak melanjutkan kata-katanya. Tapi dilanjutkan temanya yg lain" coto ini kauyg traktir". Hahaha... mereka kembali ketawa bebas tanpa beban politik.
Saya kemudian keluar warung Daeng setelah menerima uang ansuran kembalian.

Menarik kalau tak dikatakan lucu. Sampai kini orang masih masalahkan politik uang. Bukankah uang salah satu bagian dari politik?. Politisi mana ya, yg tak mengalkulasi diri dengan uang/ materi. 

Politik uang atau materi politik kayaknya selalu ada dan akan selalu ada dalam suatu komunitas. Kita bisa lihat sejarah bangsa ini, mulai zaman kerajaan, Hindi Belanda, Jepang, Orla-Orba, Reformasi dan masa apalagi setelahnya.
bahkan kisah dalam kitab suci ada matre politik. Masa kehidupan Sorga, Iblish-Malaikat-dan Adam manusia pertama. Meski skala dan formatnya beda. Tapi intinya selalu materi dan spiritnya sama.

Rasanya kurang pas kalau dikatakan kalau menyogok adalah pembodohan politik dan disogok suatu kebodohan dan seterusnya. Tapi bagi banyak orang, menerima sogok untuk memilih tertentu adalah kecerdikan dan tak mau dibohongi lagi. Dulu waktu kampanye mereka obral janji dan bla bla bla. Tapi setelah terpilih, rumah dan kantornya tertutup untuk janjinya.

Sudah impas kalau menerima bayaran untuk memilih calon yg bayar. Menang atau kalah, menepati atau ingkari janji kampayenya sabodoh amat. Ini mendingan daripada disogok tapi pilih yang lain atau lebih partisipan daripada golput yang katanya suara itu mahal tapi terkadang tak berarti bila pemilu usai.

Ada berasumsi, calon yg money polytic, setelah terpilih yg pertama dipikir pasti mengembalikan 'ongkos' politiknya. Dari sumber tak dibolehkan hukum. Bukan dari gaji yang sungguh jauh dari nilai yg dikeluarkan sewaktu kampanye. Untuk itulah badan hukum seperti polisi dan kpk diberdayakan.

Akan selalu ada pilihan politik. Nurani perasaan atau logika. Raga bisa didera hukum tapi jiwa politik bebas mencelah dan mencari celah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar