Rabu, 13 Oktober 2010

Berita Kepada Kawan?

Perjalanan bangsa kita beberapa tahun terakhir, benar-benar terasa sangat menyedihkan. Pertikaian mengatasnamakan agama, suku, kelompok atau golongan, ditambah lagi bencana alam silih berganti seakan menunggu giliran. Masih jelas di ingatan akan musibah tzunami Aceh, gempa Yogya, Padang, Situgintung atau lumpur sidoarjo dan terakhir banjir bandang Wasior, Papua Barat serta banyak lagi musibah lainnya yang luput dari pantauan pers.

Untuk itulah mungkin, Ebiet G. Ade, ingin mengabarkan kepada kawannya. Kawan sejati dalam suka duka. Kawan yang mampu diajak simpati terhadap musibah dan penderitaan orang-orang yang jauh dari kenikmatan kekayaan negeri ini. Sayang temannya itu tidak di sampingnya atau mungkin itu hanyalah teman khayalan karena tidak ada lagi yang dapat dijadikan teman sejati.

Lalu, Si Ebiet atau mungkin yang lain mencoba mengabarkan semuanya. Kepada laut, kepada ombak, kepada karang sebagai personifikasi wakil-wakil mereka di parlemen yang selalu berjanji memperjuangkan aspirasi wong cilik, wong mayoritas di negeri ini bila mereka terpilih. Kepada mereka yang dipercaya dapat memberi rasa aman, perlakuan adil tanpa pandang bulu. Sampai kepada matahari sebagai simbol dari para pengambil keputusan yang selalu diharap memberi kesejukan perlindungan dan keteraturan kelangsungan kehidupan semua anggota masyarakat.

Mereka tidak memberi jawaban memuaskan, jawaban yang tidak berpihak pada penderitaan orang-orang kecil, jawaban yang membingunkan kalau tidak mau dikatakan diam, bisu dan ditinggal sendiri, dibiarkan terpaku menatap langit yang jauh dari jangkauan bahkan harapan.

Mereka malah saling menyalahkan, saling menuduh, merasa pihak mereka yang paling benar, paling tahu kenyataan. Pemerhati lingkungan mengatakan musibah di Wasior terjadi karena tidak berfungsinya lingkungan hutan sebagaimana mestinya. Oleh ulah pengelolah hutan berizin, tambang, penebagan liar. Dan pemerintah harus bertanggungjawab sebagai pemberi izin serta minimnya pengawasan. Pihak lain mendesak pemerintah menjadikan musibah ini sebagai bencana nasional melihat banyaknya korban jiwa dan materi.

Pemerintah tentu tidak mau disalahkan sendiri. Pemerintah berdalih kalau musibah itu murni karena alam dan cuaca ekstrem yaitu curah hujan tinggi. Dan tentu belum bisa ditingkatkan statusnya jadi bencana nasional. Mungkin karena itu pulalah presiden tidak langsung kelokasi kejadian bencana. Ditambah lagi prasarana rusak 80 persen sehingga tidak memungkinkan adanya penyambutan seremonial pejabat, belum lagi wabah penyakit dari korban meninggal dan sampah mengancam. Apalagi pemerintah setempat tidak merekomendasikan presiden datang. Mungkin malu pada otonomi khusus yang memungkinkan anggaran bencana itu diambil alih dan disorot banyak pihak atau karena tidak mau direpotkan dengan acara penyambutan pejabat.

Lalu,
Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.

Mungkin rumput juga tidak mau bersahabat karena sebentar lagi mereka akan tergantikan dengan batu dan beton disetiap sudut bumi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar